Wednesday, June 4, 2014

Untitled Four

Aku mengusap-usap rerumputan yang tumbuh subur di gundukan tanah itu. Saat aku datang, rerumputan sudah mulai agak meninggi, dan kuminta seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk di dekatku untuk merapikannya. Sang bapak tua berkaus hitam yang mulai keabu-abuan mengangguk dengan sigap, dan sekitar sepuluh menit kemudian kuberikan ia sedikit uang. Kubelai nama yang tertulis di nisan tersebut, seakan membelai rambutnya. Padahal selama ini aku tidak pernah membelai rambutnya, yang aku lakukan hanyalah mengacak-acak rambutnya yang berdiri atau menoyor kepalanya saat ia mencelaku.

Aku menaburkan bunga, entahlah dia suka bunga itu atau tidak. Dua puluh tahun lebih aku mengenalnya, aku bahkan tidak tahu bunga apa yang ia suka. Yang aku tahu hanya bahwa ia tidak suka sepak bola, tidak terlalu tertarik dengan perkembangan teknologi. Hampir sebagian waktu yang ia habiskan di rumah hanya untuk menyentuh gitar yang dia beli di salah satu toko buku terkemuka dari hasil tabungan uang lebaran saja.

Lebih dari dua puluh tahun, aku bahkan tidak terlalu yakin apa warna kesukaannya. Biru tua atau hitam ya? Tapi sepertinya ia memiliki banyak baju berwarna abu-abu. Kamarnya yang dulu biasanya berbau campuran minyak wangi dan bau rokok, telah berganti perlahan-lahan menjadi bau pewangi kain dari seprai yang selalu diganti setiap dua minggu sekali. Yang tersisa dari kamar itu hanyalah aroma pakaiannya saja, tapi itu sudah memudar pula, tergantikan dengan bau kapur barus.

Tanda keberadaannya mulai hilang, dan yang paling aku takutkan menjadi kenyataan, ingatanku tentang dirinya mulai menghilang perlahan. Kalau tidak salah ia punya lesung pipi, entah di kanannya atau kirinya. Aku masih dapat mengingat suaranya, itu pun karena aku memiliki beberapa video dirinya, serta kadang aku menelpon ponselnya hanya untuk mendengarkan suara di mailboxnya saja. Kadang saat aku mengalami suatu kejadian, menyenangkan atau tidak, di malam hari aku memejamkan mata, dan membayangkan bercerita padanya, mengira-ngira apa komentarnya, celaannya, caranya tertawa, semua reaksinya.

Sudah hampir tiga tahun, dan aku masih merindukannya, sangat rindu. Rasa rinduku begitu besar sehingga tidak dapat memahami mengapa kekasihnya, yang dulu nampak begitu mencintainya sekarang sudah menemukan pengganti dirinya. Ia bercerita padaku, tentang sesosok pria yang begitu gencar mendekatinya, awalnya ia enggan, namun seiring berjalannya waktu, ia menyerah dan memberikan hatinya untuk si pria baru tersebut. Apakah tidak terlalu cepat, tanyaku. Ia kemudian berkata bahwa ia tahu ini terdengar terburu-buru, tapi ia sudah mantap dan kemudian ia berkata tidak akan melupakannya. Aku hanya tersenyum tipis saat itu.

Dan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan mereka melangsungkan acara lamaran. Dan kemudian acara pernikahan mereka akan dilakukan awal tahun depan. Hatiku hancur. Tadinya kukira ia akan terus menjadi teman senasibku dalam mengadu perasaan rindu.

Kupandang nama di batu nisan itu lagi, kubelai kembali.

Kubisikan beberapa patah kata di dekat nisan itu, dengan suara lirih. Sangat lirih, sehingga tidak akan ada yang mendengarnya, "Sudah kubereskan calon penggantimu, akan kubuang tubuhnya sebentar lagi. Tenanglah Kak, Seruni akan terus menjadi milikmu,".