Kadang suka kepikiran tiba-tiba, kalau Tuhan tidak menjanjikan surga atau neraka, masihkah orang akan melakukan ibadah? Kalau Tuhan tidak menjanjikan pahala atau dosa, masihkah orang akan melakukan perbuatan baik, dan menghindari perbuatan dosa?
Muak setengah mati setiap orang ngomongin masalah dosa dan pahala sebelum melakukan sesuatu. Gak boleh nyontek, dosa. Gak boleh korupsi, dosa. Atau sebaliknya, musti shalat biar dapet pahala terus masuk surga. Jadi sujud kita semata-mata hanya agar masuk surga? Bukan untuk Allah?
Pamrih amat sih?
Dulu ada kenalan yang selalu punya agenda untuk berbagi. Agendanya bagus, saya suka. Berbagi ke sebuah panti, atau sekolah atau apapun di sudut kota, tempat yang paling terlupakan, paling tidak terlihat, namun sangat membutuhkan uluran tangan kita. Saya selalu membantu meminta dana, tanpa perlu diminta dua kali pasti saya bantu. Sampai suatu hari, ia menuliskan dalam e-mailnya tentang pahala dalam melakukan itu. Dia bilang selangkah menuju surga. Fuck. Not you again. Enough is enough.
Muak masbrooooh dengerin masalah pahala dan dosa. Masa melakukan sesuatu masih harus dijanjikan yang manis dan ditakuti dengan sesuatu yang pahit. Bedanya kita sama anak kecil apa dong?
Kalau gak rajin sikat gigi, nanti giginya bolong, terus dicabut sama dokter, itu sakit lho. Atau ayo belajar, kalau naik kelas, nanti dibeliin sepeda baru. Eh saya gak bisa naik sepeda. Dibeliin lego baru deh. Kalau kamu minum alkohol nanti dosa, masuk neraka. Menyantuni anak yatim itu ada pahalanya lho, nanti masuk surga. Masa hidup puluhan tahun tapi jalan pikiran masih mirip bocah? Malu atuh sama umur. Apalagi sama uban dan rambut halus yang mulai tumbuh di telinga, yang menunjukkan ketuaannya.
Dulu saya gak pernah shalat sampai SMA. Ya disuruh sih sama Mama, dimarahin kalau gak shalat. Dosa katanya, masuk neraka katanya. Dan kemudian berakhir saya cuma pura- pura shalat. Padahal saya lagi ngelamun mikirin yang lain. Berusaha mengingat rumus kimia buat ujian besok misalnya. Pokoknya saya tidak mau melakukan sesuatu semata- mata karena dosa dan pahala. Itu idealisme bodoh saya.
Sampai pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya tidur di kamar kerja Bapak. Dan sembari menunggu kantuk datang menyerang, saya menyalakan radio yang mengumandangkan lagu- lagu 80an dan 90an. Dan kemudian di sela- sela ada penceramah. Sempat mau ganti ke radio lain, tapi entah kenapa saat itu saya diamkan saja. Dan si penceramah itu bilang "Anggap aja shalat itu seperti SMSin atau nelpon dia. Sama seperti kita mengirim SMS ke orang tercinta, memberitahukan kabar, atau menelpon seseorang untuk menunjukkan perhatian,"
Dan saya terdiam, dan kemudian menaikkan volume suara radio. "Coba kalau kita seharian gak SMSin pacar atau suami/istri, mereka pasti ngambek, nyariin, dan nuduh kita udah gak sayang lagi. Nah ini Tuhan, yang sudah ngasih banyak banget ke kita, masa disuruh shalat lima kali sehari aja gak mau. Padahal 24 jam diberikan kepada semua ciptaannya secara adil, tidak ada yang diberikan lebih atau kurang,"
Glek. Disitu baru merasa tertampar. Iya yah, Tuhan udah ngasih banyak. Masa shalat yang cuma lima - sepuluh menit aja gak bisa? Toh anggap aja ini salah satu cara memberitahukan rasa terima kasih. Ngasih tahu bahwa masih sayang sama Tuhan. Maki- maki Tuhan juga gak papa, bilang aja kenapa Dia ngasih cobaan berat banget, kenapa selalu diberikan kegagalan. Palingan juga Tuhan cuma senyum kecil, dan membelai kita dengan Invisible Handnya, nyuruh kita sabar.
Dan sejak itu baru saya shalat beneran, bukan lagi melakukan gerakan ritual dengan pikiran kosong atau memikirkan hal lain. Yah walaupun kadang masih gampang terdistract, dengan aroma masakan mama yang selama sepersekian detik bikin saya mikir "Ih mama goreng ayam,"
Tapi sekali lagi, Tuhan paling hanya akan tersenyum.
Tuhan itu Maha Murah Senyum. Gak termasuk di Asmaul Husna sih, tapi saya yakin, sekarangpun Dia lagi tersenyum buat saya.
*nyengir- nyengir bajing ke Tuhan.