Lost in a dream, finally it seems
Emptiness and everlasting madness
See the sadness grow, watching as we know
Long before our journey for the world
Call for us
The power in all of us
So far beyond the blackened sky tonight
Glorious
Forever more in us
We are victorious
And so alive
We'll all find our sacrifice tomorrow,
Our journey on towards a brighter day,
Silent tears we left behind, still so far away,
Across the endless sands,
Through the fields of our despair,
Free for all eternity, we stand, yeah,
Rise above the universe tonight,
Starchaser...
Fly towards the storm, see the world reborn,
Feel the pain inside, the voice, the sorrow,
Across the distant shores, find the open door,
Stand alone, in judgment for tomorrow.
Years of pain still haunt us all, we saw the last sunrise,
Take me home, in freedom, for a lifetime...
Praying on for the silence, and the last tears will blind,
So glorious, this fight inside, united we stand.
And we'll all find our sacrifice tomorrow,
Our journey on towards a brighter day,
Silent tears we left behind, still so far away,
Across the endless sands,
Through the fields of our despair,
Free for all eternity, we stand, yeah,
Rise above the universe tonight,
Starchaser...
Free from this world, here for the last time,
Oceans collide inside of us all,
Believe who we are,
The phoenix will guide us,
Freedom will rise once again.
Save us tonight, the last hope for all of us,
Light-years gone by, we're still holding on,
Save us tonight, a star shines in all of us,
Far beyond our lives, still our glory lives on.
And we'll all find our sacrifice tomorrow,
Our journey on towards a brighter day,
Silent tears we left behind, still so far away,
Across the endless sands,
Through the fields of our despair,
Free for all eternity, we stand, yeah,
Rise above the universe tonight,
Starchaser...Starchaser...
Our kingdom come, we stand as one,
And we will live for always evermore...
Sunday, September 19, 2010
Saturday, September 11, 2010
karma police...
Nope, I won't talk about Radiohead's song. Cuma mau nulis aja tentang hukum karma. Banyak teman saya yang percaya sekali sama hukum karma, padahal mereka bukan penganut suatu agama yang memang mempercayai hukum karma dan reinkarnasi. Agama mereka sama seperti saya, mereka muslim. Tapi percaya karma? Tolol gak sih menurut kalian?
Saya sama sekali gak percaya dengan hukum karma. Saya hanya percaya apapun yang terjadi di dunia ini sudah digariskan. Dan walaupun iman saya lebih tipis dibanding para muslim2 yang berkerudung, dengan selalu menunaikan sholat lebih rajin dari saya, puasa senin kamis, saya tidak pernah percaya dengan hukum karma (gak tau kenapa, kebanyakan para cewek yang percaya karma)
Hmm, logikanya gini yah... Inget dengan buku yang fenomenal banget jaman dulu yang berjudul a child called it? Tentang anak kecil yang disiksa abis2an oleh ibunya? Nah kalau gitu dia pernah melakukan sesuatu sehingga dia pantas mendapatkan siksaan itu dong? Dan emang ada ya dosa yang cukup berat yang bisa diperbuat anak kecil sehingga dia pantas mendapatkan siksaan seperti itu?
See the point?
Saya bingung dengan orang2 yang setelah tersakiti mengatakan "Liatin aja tuh orang udah nyakitin gw, kena karma nanti dia"
What the heck? Otak lo dimana? Muslim tapi percaya karma? Pindah agama aja sana sekalian! kalau yang percaya karma adalah orang2 yang memang beragama yang mengajarkan karma, saya tidak akan protes. Lha ini, islam, ngaku percaya sama Allah SWT, tapi percaya karma? Kontradiktip, dan tolol.
Pembalasan hanya akan ada pada saat sakratul maut, dalam kubur dan saat di akhirat nanti. Saat hidup mah mana ada karma. Kalau orang yang menyakiti kita diberikan suatu kegagalan, ya emang dia sedang diuji oleh Tuhan, itu aja.
Koq kalian kepedean banget sih berpikir kegagalan yang ia alami adalah gara2 ia telah menyakiti kalian?
Kenapa saya sampai senafsu ini ngomongin karma? Karena sebenarnya saya muak tiap orang ngomongin sesuatu dan disangkutpautkan dengan karma. Dan tadi saat saya membaca blog salah satu teman kuliah saya, dan dia mengatakan "Gw gak percaya karma, Karma gak ada di Al Quran!", rasa jijik saya terhadap karma kembali memuncak. Saya jadi ingat betapa bencinya saya terhadap kata karma, ketika diucapkan oleh orang yang ngaku muslim...
Sialan, mood gw yang lagi bagus gara2 Hujan Bulan Juni jadi tergantikan dengan rasa marah yang udah lama banget mangkel...
Makan tuh karma, keparat!
Saya sama sekali gak percaya dengan hukum karma. Saya hanya percaya apapun yang terjadi di dunia ini sudah digariskan. Dan walaupun iman saya lebih tipis dibanding para muslim2 yang berkerudung, dengan selalu menunaikan sholat lebih rajin dari saya, puasa senin kamis, saya tidak pernah percaya dengan hukum karma (gak tau kenapa, kebanyakan para cewek yang percaya karma)
Hmm, logikanya gini yah... Inget dengan buku yang fenomenal banget jaman dulu yang berjudul a child called it? Tentang anak kecil yang disiksa abis2an oleh ibunya? Nah kalau gitu dia pernah melakukan sesuatu sehingga dia pantas mendapatkan siksaan itu dong? Dan emang ada ya dosa yang cukup berat yang bisa diperbuat anak kecil sehingga dia pantas mendapatkan siksaan seperti itu?
See the point?
Saya bingung dengan orang2 yang setelah tersakiti mengatakan "Liatin aja tuh orang udah nyakitin gw, kena karma nanti dia"
What the heck? Otak lo dimana? Muslim tapi percaya karma? Pindah agama aja sana sekalian! kalau yang percaya karma adalah orang2 yang memang beragama yang mengajarkan karma, saya tidak akan protes. Lha ini, islam, ngaku percaya sama Allah SWT, tapi percaya karma? Kontradiktip, dan tolol.
Pembalasan hanya akan ada pada saat sakratul maut, dalam kubur dan saat di akhirat nanti. Saat hidup mah mana ada karma. Kalau orang yang menyakiti kita diberikan suatu kegagalan, ya emang dia sedang diuji oleh Tuhan, itu aja.
Koq kalian kepedean banget sih berpikir kegagalan yang ia alami adalah gara2 ia telah menyakiti kalian?
Kenapa saya sampai senafsu ini ngomongin karma? Karena sebenarnya saya muak tiap orang ngomongin sesuatu dan disangkutpautkan dengan karma. Dan tadi saat saya membaca blog salah satu teman kuliah saya, dan dia mengatakan "Gw gak percaya karma, Karma gak ada di Al Quran!", rasa jijik saya terhadap karma kembali memuncak. Saya jadi ingat betapa bencinya saya terhadap kata karma, ketika diucapkan oleh orang yang ngaku muslim...
Sialan, mood gw yang lagi bagus gara2 Hujan Bulan Juni jadi tergantikan dengan rasa marah yang udah lama banget mangkel...
Makan tuh karma, keparat!
Hujan Bulan Juni
Pas hari lebaran kemarin, saya beserta keluarga berkumpul di rumah salah satu bude saya di warung buncit, di komplek perhubungan, di rumah yang telah bertahun-tahun mereka tempati. Di rumah yang selama dua tahun berturut-turut ini menjadi tempat berkumpul kami sejak bude saya yang paling tua telah meninggalkan dunia ini. Sejak bude yang masih saja saya rindukan setengah mati pergi...
Saat para kaum tetua berkumpul di ruang depan, bercengkrama mengenai masa lalu, mengenang saat-saat masih muda dulu, atau saat masih berada dalam jaman penjajahan. Mungkin topik mengenang masa lalu adalah topik favorit mereka sepanjang masa. Mengingat kembali betapa berdayanya mereka saat itu. Melupakan kerentaan mereka, meski hanya sejenak
Dan kami, para kaum mudanya, berkumpul di halaman belakang. Saling mengejek, mencela. Menghina beberapa saudara kami saat itu yang memakai baju koko namun mengabaikan panggilan sholat Jumat.
Sayapun berkata dengan nada mencela "Baju ala sheik, tapi kagak sholat Jumat, sana buka bajunya,"
dan kemudian mereka membela diri dengan mengatakan bahwa baju itu bukan pilihan mereka, mereka hanya dipaksa memakai baju itu oleh ibunya, atau ada yang mengatakan bahwa tadi mereka sudah solat ied, tidak perlu lagi sholat Jumat.
Kemudian saudara saya mengembalikan beberapa buku yang pernah ia pinjam, entah berapa tahun yang lalu. Dan diantaranya ada buku kumpulan puisi, atau prosa atau sajak, entahlah, dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Hujan Bulan Juni"
Saya yakin banyak yang mengetahui Sapardi dari sajak berikut ini:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Aku Ingin, 1989)
Jujur saja, walaupun menurut saya puisi ini sangat sangat indah, menyayat hati, namun saya juga membencinya. Saya benci karena banyak orang yang sering mengutip puisi ini tanpa mengetahui puisi milik siapa. Bahkan pernah menjadi penggalan dialog sebuah sinetron murahan yang entah mengapa dapat mencapai rating tinggi.
Dalam buku ini, ada beberapa favorit saya. Tentu saja hujan bulan juni adalah salah satu diantaranya:
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(hujan bulan juni, 1989)
* * * * *
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impiankupun tak dikenal algi
namun di sela-selah huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(pada suatu hari nanti, 1991)
* * * * *
terbangnya burung
hanya bisa dijelaskan
dengan bahasa batu
bahkan cericitnya
yang rajin memanggil fajar
yang suka menyapa hujan
yang melukis sayap kupu-kupu
yang menaruh embun di daun
yang menggoda kelopak bunga
yang paham gelagat cuaca
hanya bisa disadur
ke dalam bahasa batu
yang tak berkosa kata
dan tak bernahu
lebih luas dari fajar
lebih dalam dari langit
lebih pasti dari maksna
sudah usai sebelum dimulai
dan sepenuhnya abadi
tanpa diucapkan sama sekali
(terbangnya burung, 1994)
* * * * *
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau, dan kata
kalian tahu, pisau barulah pisau
kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
(kami bertiga, 1982)
* * * * *
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kau lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
(yang fana adalah waktu, 1978)
* * * * *
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi
matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa diantara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang harus berjalan di depan
(berjalan ke barat waktu pagi hari, 1971)
Saat para kaum tetua berkumpul di ruang depan, bercengkrama mengenai masa lalu, mengenang saat-saat masih muda dulu, atau saat masih berada dalam jaman penjajahan. Mungkin topik mengenang masa lalu adalah topik favorit mereka sepanjang masa. Mengingat kembali betapa berdayanya mereka saat itu. Melupakan kerentaan mereka, meski hanya sejenak
Dan kami, para kaum mudanya, berkumpul di halaman belakang. Saling mengejek, mencela. Menghina beberapa saudara kami saat itu yang memakai baju koko namun mengabaikan panggilan sholat Jumat.
Sayapun berkata dengan nada mencela "Baju ala sheik, tapi kagak sholat Jumat, sana buka bajunya,"
dan kemudian mereka membela diri dengan mengatakan bahwa baju itu bukan pilihan mereka, mereka hanya dipaksa memakai baju itu oleh ibunya, atau ada yang mengatakan bahwa tadi mereka sudah solat ied, tidak perlu lagi sholat Jumat.
Kemudian saudara saya mengembalikan beberapa buku yang pernah ia pinjam, entah berapa tahun yang lalu. Dan diantaranya ada buku kumpulan puisi, atau prosa atau sajak, entahlah, dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Hujan Bulan Juni"
Saya yakin banyak yang mengetahui Sapardi dari sajak berikut ini:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Aku Ingin, 1989)
Jujur saja, walaupun menurut saya puisi ini sangat sangat indah, menyayat hati, namun saya juga membencinya. Saya benci karena banyak orang yang sering mengutip puisi ini tanpa mengetahui puisi milik siapa. Bahkan pernah menjadi penggalan dialog sebuah sinetron murahan yang entah mengapa dapat mencapai rating tinggi.
Dalam buku ini, ada beberapa favorit saya. Tentu saja hujan bulan juni adalah salah satu diantaranya:
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(hujan bulan juni, 1989)
* * * * *
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impiankupun tak dikenal algi
namun di sela-selah huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(pada suatu hari nanti, 1991)
* * * * *
terbangnya burung
hanya bisa dijelaskan
dengan bahasa batu
bahkan cericitnya
yang rajin memanggil fajar
yang suka menyapa hujan
yang melukis sayap kupu-kupu
yang menaruh embun di daun
yang menggoda kelopak bunga
yang paham gelagat cuaca
hanya bisa disadur
ke dalam bahasa batu
yang tak berkosa kata
dan tak bernahu
lebih luas dari fajar
lebih dalam dari langit
lebih pasti dari maksna
sudah usai sebelum dimulai
dan sepenuhnya abadi
tanpa diucapkan sama sekali
(terbangnya burung, 1994)
* * * * *
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau, dan kata
kalian tahu, pisau barulah pisau
kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
(kami bertiga, 1982)
* * * * *
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kau lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
(yang fana adalah waktu, 1978)
* * * * *
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi
matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa diantara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang harus berjalan di depan
(berjalan ke barat waktu pagi hari, 1971)
Label:
poem,
reminiscences,
stuffs
langitku, kamu...
Kamulah langit fajarku
lembayungmu menghias kelam
cintamu kau sampaikan lewat embun pada dedaunan
Kamulah langit senjaku
Sebersit warna jinggamu indah
meski warnamu menyiratkan kesedihan dan keletihan
Kamulah langit malamku
kelam dan menyebarkan kesepian
membungkus cahaya dengan kegelapan meski diterangi rembulan
langit selalu mengingatkanku padamu, kapanpun...
lembayungmu menghias kelam
cintamu kau sampaikan lewat embun pada dedaunan
Kamulah langit senjaku
Sebersit warna jinggamu indah
meski warnamu menyiratkan kesedihan dan keletihan
Kamulah langit malamku
kelam dan menyebarkan kesepian
membungkus cahaya dengan kegelapan meski diterangi rembulan
langit selalu mengingatkanku padamu, kapanpun...
Subscribe to:
Posts (Atom)