Ayah dan ibuku sepertinya adalah pasangan paling mesra di muka bumi ini, atau setidaknya yang pernah kukenal. Bukan hanya karena ayah sering mengirimkan karangan bunga mawar merah kesukaan ibuku di hari ulang tahunnya, dan juga di hari perayaan pernikahan mereka; bukan juga karena mereka masih sering pergi makan malam berdua, meninggalkan anak-anaknya di rumah bersama dengan pembantu rumah tangga; bukan pula karena ayah sering memberikan kejutan-kejutan kecil ke ibuku; namun karena kadang ayah sering membuatkan sarapan untuk ibu di akhir pekan.
Ayahku tidak pandai memasak, jujur saja. Sarapan yang ia buatkan hanya sekedar roti bakar dengan selai kacang yang banyak, atau telur dadar dengan campuran bawang goreng di dalamnya, bahkan hanya sekedar mie instan dengan telur setengah matang. Itu sih aku juga bisa bikin, ejekku. Dan ayah hanya bilang yang penting niatnya menyenangkan ibuku. Dan ibuku mengangguk setuju.
Kalau kau melihat album foto mereka, kau akan langsung merasakan bahwa mereka telah dimabuk cinta sejak jaman pacaran. Di setiap foto selalu terlihat tatapan dan senyum mesra mereka. Dunia milik berdua, yang lain pada ngontrak. Kurasa istilah itu muncul dari pasangan seperti ayah dan ibuku. Seakan mereka tidak peduli ada apa di sekitar mereka. Yang penting bagi ayahku adalah ibuku bahagia, yang penting bagi ibuku adalah ayahku senang.
Kebahagiaan mereka semakin bertambah sejak kemunculan kedua kakak laki-lakiku. Memiliki anak kembar di tahun awal pernikahan mereka seakan semakin menunjukkan kebahagiaan keluarga kami saat itu. Karir ayah yang semakin menanjak sejak kelahiran kedua kakak laki-lakiku, dan kakek dan nenekku pun berkata itu rejeki untuk sang buah hati. Dan empat tahun kemudian, aku lahir. Seakan aku menggenapkan lagi kebahagiaan mereka. Keluarga sempurna kalau kata orang sekelilingku.
Ayahku adalah seorang pekerja keras sejak kecil. Kata nenekku, sejak kecil ayah itu sangat rajin belajar, selalu jadi juara kelas. Makanya meski ayahku adalah jendral anak nakal di kampungnya, nenekku tidak keberatan. Toh nilainya selalu bagus, prestasi di dalam dan di luar sekolah sangat membanggakan. Dan ayahku mulai berubah menjadi kalem sejak kuliah. Ia tidak lagi melakukan kenakalan, hanya belajar saja. Mendadak rajin beribadah. Dan nenekku tidak menanyakan terlalu jauh, ia hanya berpikir, ayahku sudah dapat hidayah.
Dan ibuku adalah ibu rumah tangga yang sangat sempurna, tetap cantik di usianya yang tidak muda lagi. Rambut hitamnya semakin menipis, tergantikan rambut abu-abu keputihan. Kerutan terlihat jelas di sekitar mata, bibir, leher, lengannya meski tetap halus dan hampir tanpa noda. Hobinya memasak, menjahit, dan mengurus tanaman di perkarangan kami. Mulai dari perkarangan di rumah mungil kami, sampai sekarang kami telah pindah di rumah yang tiga, atau bahkan empat kali lebih besar.
Perkarangan kami penuh dengan anggrek, dan bunga mawar bandung dan malang. Ada juga bunga seruni di pojok sebelah kanan, di dekat kolam renang mungil kami. Masakannya adalah masakan terenak yang pernah kumakan. Mulai dari masakan Indonesia, China, bahkan sampai masakan Itali. Mungkin yang bisa mengalahkannya hanya koki dari hotel kelas bintang lima.
Ibuku sangat suka berdengung. Ia selalu mendengungkan lagu-lagu kesukaannya, dan meski dengungannya terdengar seperti suara capung, tapi terasa merdu di telingaku. Aku merasa tenang, nyaman dan aman selama mendengarkan suara dengungannya. Mungkin agak terdengar konyol, seorang gadis berusia dua puluh enam tahun sepertiku, yang bulan depan akan menikah, aku masih sangat mengkhawatirkan aku tidak dapat mendengarkan suara dengungan itu lagi setelah tidak tinggal di rumah ini.
Tapi setidaknya aku tahu, ibu sedang bahagia tinggal berdua dengan ayahku lagi setelah kepergian kakak-kakakku setelah menikah dan tinggal di luar negeri. Dan setelah kepergian ayah karena komplikasi penyakit darah tinggi, diabetes, dan yang lain, ibu mendadak kehilangan pegangan. Ia pun mengakhiri hidupnya di kamar ini, kamar dengan kertas dinding warna coklat yang motifnya menyerupai kayu ini. Lantai marmer yang selalu bersih tanpa setitik noda mendadak berwarna merah terang campur gelap.
Ia pergi dengan mengenakan gaun tidur putih kesukaan ayahku. Seakan ia sengaja bersiap menghampiri ayahku.
Dan saat ini, hanya aku yang tinggal di rumah ini, bersama dengan bibi pembantu beserta suaminya yang juga merupakan tukang kebun, serta seorang supir yang telah ikut keluarga ini bahkan sejak sebelum aku lahir. Dan di kamar ini pula, aku masih mendengar suara dengungan ibuku, dimulai dengan suara pelan dan jauh hingga terdengar jelas dan dekat seperti saat ini.
No comments:
Post a Comment