Awalnya aku menghitung hari kepergianmu. Satu jam setelah kepergianmu. Satu hari. Tiga hari. Satu minggu. Sebulan. Sekian bulan. Hingga akhirnya hatiku mati rasa, otakku perlahan tumpul. Sudahkah setahun? Sudah. Sudahkah dua tahun? Entahlah.
Aku mengingat kehidupanku sebelum kamu, yang selalu menyemprotkan pewangi ruangan berbagai macam aroma. Vanilla, strawberry, kadang lemon, kadang jeruk, kadang aroma mawar. Aku bukanlah pecinta pengharum ruangan. Ini harus kulakukan karena aku memiliki Allegra saat itu, anjing labrador retriever hitam pemberian budeku. Untuk mengurangi bau Allegra, aku menyemprotkannya setiap pagi saat baru bangun, mau berangkat kerja, baru pulang, hingga sebelum tidur.
Kemudian kamu datang. Dan mulai memasuki kehidupanku. Kamu yang menjadi lebih sering memandikan Allegra, hampir setiap hari. Kamu yang memasang exhaust-fan di tengah ruangan, untuk memperbaiki sirkulasi udara. Untuk mengurangi bau Allegra berkutat di rumah kontrakan mungilku. Untuk mengurangi pemakaian pengharum ruanganku. Karena kamu benci bau kimia, katamu.
Untuk mengakalinya, selain pemasangan exhaust fan yang kamu lakukan di akhir pekan dan mengganggu waktu tidurku itu, aku meletakkan secangkir kecil biji kopi di penjuru ruangan. Di tengah ruangan, di bawah lukisan yang kubeli saat aku pergi ke Bali. Biji kopi kusimpan di dalam satu wadah berbentuk daun, kamu yang menyarankan, membuat biji kopi penghilang bau itu agar terlihat seperti salah satu properti penghias ruang tamu.
Kuselipkan beberapa daun pandan di bawah tempat tidur kita, di bawah sofa di ruang tengah, dan juga di kamar mandi. Kamu bahagia, katamu. Tidak pernah kau temukan sebuah rumah nyaris tanpa pengharum kimia.
Aku mengganti sofa bed dengan motif bendera inggrisku di ruang tengah dengan sofa nyaman berwarna coklat tua atas permintaanmu. Agar lebih terasa seperti rumah, katamu. Kurelakan sofa bed bendera inggrisku itu, walaupun saat ingin membelinya, aku harus adu mulut dengan seorang ibu-ibu muda yang menyerobot antrian, dan aku harus terburu-buru mencari mesin ATM karena transaksi kartu kreditku ditolak. Belum lagi ternyata waktu pengirimannya ngaret, dijanjikan kurang dari seminggu, ternyata sampai hampir sebulan belum dikirimkan, dan aku adu mulut kembali, dengan petugas customer care toko tersebut.
Kamu menemaniku, saat Allegra akhirnya mati termakan usia. Kau menemaniku, memelukku erat, saat aku menangisi kepergian temanku satu-satunya selama beberapa tahun sebelum kedatanganmu. Aku yang biasanya tidak terlalu suka disentuh orang lain, tidak merasa sesak sama sekali dengan rengkuhanmu. Bahkan, aku merasakan kenyamanan.
Sebulan setelah kepergian Allegra, budeku menawarkan untuk mengadopsi anak anjing milik tetangganya. Anjing labrador retriever hitam lagi, sama seperti Allegra. Dan kamu mengatakan tidak perlu terburu-buru menggantikan Allegra. Toh aku masih merasa sedih dengan kepergiannya. Nanti hatiku yang akan memberitahu kapan waktu yang tepat untuk mengadopsi anjing kembali. Dan akupun menurut.
Enam bulan kemudian, budeku meninggal, karena penyakit diabetes yang telah menggerogoti tubuhnya selama puluhan tahun. Dan akhirnya, aku mengadopsi anjing miliknya, seekor shih tzu mungil, bernama Waltz. Aku tidak pernah menyukai anjing kecil, namun hatiku saat ini, telah terpikat. Dan saat itu kau berkata, selalu ada waktu yang tepat untuk segala sesuatunya, tidak perlu terburu-buru.
Aku masih terbiasa menyimpan sebalok tempe, selusin telur ayam kampung di kulkas. Untuk menghindari kamu kelaparan di tengah malam, dan tidak ada makanan. Gorengkan saja aku tempe dan telur, aku sudah senang, katamu. Sampai sekarang juga aku masih menyimpan indomie rasa ayam spesial di lemari dapur. Hanya kusimpan dua buah setiap bulannya, karena aku tidak mau kamu terlalu sering makan makanan instan sarat pengawet itu.
Aku juga masih menyimpan beberapa pakaianmu di dalam lemari dengan beberapa helai daun pandan di dalamnya. Kemudian seminggu sekali masih kusemprotkan parfum kesukaanmu. Entah telah habis berapa botol sejak kepergianmu. Kusemprotkan ke jaketmu, kuendus aromanya sebelum tidur. Mirip sekali dengan bau kamu sesaat setelah mandi. Hanya saja tidak ada bau keringatmu disitu.
Aku masih sering mengunjungi kedai kesukaanmu. Memesan kopi hitam, serta lasagna dan kadang kutambahkan dengan hot fudge brownie, menu yang selalu kamu pesan setiap kita kesini. Aku duduk di ujung, dekat jendela, dekat colokan tempat kamu mengisi baterai ponselmu yang terlalu sering kau pakai bermain.
Tidak perlu terburu-buru. Itu yang selalu kau katakan. Dan akhirnya, sampai saat ini, aku masih belum mau buru-buru untuk melupakanmu. Toh aku masih membutuhkan sosokmu.
Walaupun ternyata, kau sudah bisa menggantikan aku dengan wanita lain, yang kau genggam erat-erat tangannya itu.
Kamu menemaniku, saat Allegra akhirnya mati termakan usia. Kau menemaniku, memelukku erat, saat aku menangisi kepergian temanku satu-satunya selama beberapa tahun sebelum kedatanganmu. Aku yang biasanya tidak terlalu suka disentuh orang lain, tidak merasa sesak sama sekali dengan rengkuhanmu. Bahkan, aku merasakan kenyamanan.
Sebulan setelah kepergian Allegra, budeku menawarkan untuk mengadopsi anak anjing milik tetangganya. Anjing labrador retriever hitam lagi, sama seperti Allegra. Dan kamu mengatakan tidak perlu terburu-buru menggantikan Allegra. Toh aku masih merasa sedih dengan kepergiannya. Nanti hatiku yang akan memberitahu kapan waktu yang tepat untuk mengadopsi anjing kembali. Dan akupun menurut.
Enam bulan kemudian, budeku meninggal, karena penyakit diabetes yang telah menggerogoti tubuhnya selama puluhan tahun. Dan akhirnya, aku mengadopsi anjing miliknya, seekor shih tzu mungil, bernama Waltz. Aku tidak pernah menyukai anjing kecil, namun hatiku saat ini, telah terpikat. Dan saat itu kau berkata, selalu ada waktu yang tepat untuk segala sesuatunya, tidak perlu terburu-buru.
Aku masih terbiasa menyimpan sebalok tempe, selusin telur ayam kampung di kulkas. Untuk menghindari kamu kelaparan di tengah malam, dan tidak ada makanan. Gorengkan saja aku tempe dan telur, aku sudah senang, katamu. Sampai sekarang juga aku masih menyimpan indomie rasa ayam spesial di lemari dapur. Hanya kusimpan dua buah setiap bulannya, karena aku tidak mau kamu terlalu sering makan makanan instan sarat pengawet itu.
Aku juga masih menyimpan beberapa pakaianmu di dalam lemari dengan beberapa helai daun pandan di dalamnya. Kemudian seminggu sekali masih kusemprotkan parfum kesukaanmu. Entah telah habis berapa botol sejak kepergianmu. Kusemprotkan ke jaketmu, kuendus aromanya sebelum tidur. Mirip sekali dengan bau kamu sesaat setelah mandi. Hanya saja tidak ada bau keringatmu disitu.
Aku masih sering mengunjungi kedai kesukaanmu. Memesan kopi hitam, serta lasagna dan kadang kutambahkan dengan hot fudge brownie, menu yang selalu kamu pesan setiap kita kesini. Aku duduk di ujung, dekat jendela, dekat colokan tempat kamu mengisi baterai ponselmu yang terlalu sering kau pakai bermain.
Tidak perlu terburu-buru. Itu yang selalu kau katakan. Dan akhirnya, sampai saat ini, aku masih belum mau buru-buru untuk melupakanmu. Toh aku masih membutuhkan sosokmu.
Walaupun ternyata, kau sudah bisa menggantikan aku dengan wanita lain, yang kau genggam erat-erat tangannya itu.
No comments:
Post a Comment